“Ngeengg…” Suara motor terdengar berhenti di depan rumah.
“Itu ayah, Kak” Seorang bocah TK mengguncang bahu kakaknya yang kelas 4 SD. “Ayah pasti bawa oleh-oleh”
“Nggak mungkin, Dik”
“Kok nggak mungkin sih Kak?”
“Percaya Kakak saja. Coba dengar, nanti pasti ayah ngetuk pintu tiga kali “tok tok tok” terus ngucap salam, setelah itu masuk dan langsung duduk di kursi sambil mengambil nafas panjang”
“Tok tok tok,” terdengar pintu diketuk, “Assalamu’alaikum”
Tanpa peduli dijawab atau tidak, sang ayah langsung masuk dan duduk di kursi. “Heehhhhh…” gumamnya sembari mengeluarkan nafas panjang.
“Coba Dik, kalau kamu menghampiri ayah terus cerita apa yang tadi adik ceritakan, nanti ayah nggak akan memperhatikanmu. Ayah pasti bilang, “Maaf ya Dik, ayah capek. Sama Bunda saja ya,””
Sang Adik mempraktikkan apa yang diminta kakaknya.
“Ayah, Ayah, aku tadi bisa menggambar kapal laut sama pesawat terbang. Kata Bu Guru, gambarku bagus, tapi akan lebih bagus lagi kalau sering berlatih. Lihat Yah, ini gambarku…” kalimat yang panjang itu seperti tak terlalu didengar oleh Ayah.
“Ayo Yah, temani aku menggambar biar gambarku tambah bagus Yah,” lanjutnya.
“Maaf Dik, ayah capek. Sama Bunda saja ya”
Mendapat penolakan halus seperti itu, bocah tersebut menghampiri kakaknya sambil bersedih.
“Kok kakak bisa tahu persis apa yang diucapkan dan dilakukan ayah?”
“Iya lah Dik. Kakak sudah mengamati itu selama lima tahun!”
***
Saya mendengar dialog tersebut dari Ustadz Irwan Rinaldi saat Multaqa Fikri di Surabaya. Mungkin di rumah lain, dialognya akan sedikit berbeda, namun esensinya bisa dijumpai di banyak keluarga.
Ayah berkutat dengan pekerjaannya hingga tak sempat lagi mencurahkan cinta dan kasih sayang untuk anak-anaknya. Ayah fokus dengan kesibukannya mencari uang hingga tak sempat lagi mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Akhirnya, anak pun jauh dari ayah. Meskipun secara fisik dekat, bertemu karena serumah, tetapi secara hubungan emosional dan psikis sangat jauh. Mungkin masih ada sentuhan fisik, namun sentuhan hati tak lagi mendominasi. Bahkan sampai pada tahapan anak tak lagi merasa memiliki ayah. Na’udzubillah.
Indonesia saat ini masuk dalam kategori fartherless country, negara yang kekurangan ayah. Bukan karena banyaknya anak yatim, tetapi karena banyaknya anak yang tak lagi merasa memiliki ayah.
Padahal, menurut penelitian The Farthering, anak paling banyak belajar karakter dari ayah. Jika ayah tidak memerankan fungsinya itu, maka anak-anak akan diasuh oleh pihak lain; televisi, smartphone, gadget dan sejenisnya.
Al Quran juga mengajarkan demikian. Dari 17 dialog pengasuhan yang ada dalam Al Quran, 14 di antaranya adalah dialog dengan ayah. Dua dialog dengan ibu. Sedangkan satu dialog sisanya tidak disebutkan apakah ayah atau ibu. Tentu ini juga mengajarkan umat Islam betapa peran ayah sangat sentral dalam membentuk karakter anak dan semestinya para ayah dekat dengan anak-anaknya. [Muchlisin BK/Webmuslimah]