“Praanngggg” Bunyi benda jatuh mengejutkan ayah dan salah seorang anaknya yang sedang berada di ruang tengah. Entah piring atau gelas yang jatuh. Yang jelas, sumber suara dari dapur.
“Siapa yang menjatuhkan piring ya?” tanya Ayah.
“Kalau nggak terdengar bunda marah-marah, berarti yang menjatuhkan ya bunda sendiri,” jawab Amir yang hafal dengan kebiasaan bundanya.
***
“Dukk”
“Bunyi apa itu?”
“Adik, Pa. Kepalanya terbentur meja”
“Adik sama siapa kok sampai terbentur?”
“Kalau Mama nggak ngomel-ngomel, berarti ya Mama”
***
Dua cerita itu mungkin pernah terjadi di keluarga Anda. Ketika anak memecahkan gelas, bunda langsung memarahinya. Ketika suami memecahkan cangkir, bunda juga mengomel. Giliran bunda sendiri yang memecahkan piring, anak pun langsung tahu siapa pelakunya.
Sebenarnya ini bisa terjadi pada siapa saja. Bukan pada bunda, mama, umi. Bisa juga ayah, papa, abi. Namun, diakui atau tidak, umumnya para istri dan para ibu lebih banyak yang memiliki kebiasaan seperti itu.
Kita cenderung mengomel dan memarahi jika ada anak anak atau suami melakukan kesalahan, namun cenderung mudah memaafkan ketika diri sendiri yang melakukan kesalahan. Anak-anak tentu lebih sering menjadi korban atas sikap ini. Mereka merasa kerap menjadi sasaran kemarahan. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Masih beruntung jika anak-anak protes. Yang parah, ketika anak-anak menyerap sikap itu dan menginternalisasikannya menjadi karakter. Ia pun suka menyalahkan orang lain, tetapi tidak pernah merasa salah.
Mengapa ada atasan yang suka marah-marah ketika anak buahnya datang terlambat tetapi mudah memaafkan dirinya sendiri ketika terlambat? Mengapa ada orang yang mengomel ketika orang lain terlambat rapat namun ia sendiri datang terlambat? Mengapa banyak orang protes ketika merasa diperlakukan tidak baik oleh satu layanan, namun ketika ia sendiri yang melayani customer, ia juga tidak melayaninya dengan baik? Bisa jadi karakter itu terbentuk sewaktu pengasuhan di masa kecil; anak-anak melihat sikap ibunya seperti itu.
Selain tidak disukai anak-anak, sikap itu juga tidak disukai suami. Misalnya istri menuntut suami memberikan nafkah lebih, tetapi ia tidak berterima kasih ketika telah mendapatkannya. Ketika suami sedikit saja melakukan kesalahan, istri bersikap seolah-olah suami tidak ada benarnya.
Yang sangat perlu kita khawatirkan, sikap seperti inilah yang membuat banyak wanita tidak masuk surga.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersada:
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari itu. Aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Ditanyakan kepada beliau, “Mengapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya lagi, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yuk para istri, kita introspeksi dan perbaiki diri. [Redaksi Webmuslimah]
jadi bahan renungan nih…
Trimakasih sudah updates artikel ini. Semoga kedepannya lebih baik