Muslimah bukanlah sosok yang bebas ujian. Bahkan bisa jadi, karena kemuslimahannya, ia kerap mendapatkan ujian “liyabluwakum ayyukum ahsanu amala” (untuk menguji kalian siapa yang paling baik amalnya).
Diantara ujian itu ada yang berbentuk musibah, kegelisahan, kefakiran, dan kehilangan. Baik kehilangan harta maupun kehilangan orang-orang tercinta. Bagi banyak muslimah, kehilangan orang tercinta adalah ujian paling berat diantara semua ujian.
Ummu Sulaim pernah mengalaminya. Saat Abu Thalhah bepergian, anaknya sakit keras dan akhirnya meninggal. Tentu sebagai ibu Ummu Sulaim sedih dan merasa kehilangan. Tetapi, ia mampu bersabar dengan baik. Saat suaminya pulang, tak terlihat duka apapun di wajahnya. Bahkan ia menyambut Abu Thalhah dengan berhias cantik. Dan malam itu, ia melayani Abu Thalhah dengan baik.
Paginya, Ummu Sulaim bertanya kepada Abu Thalhah. “Wahai suamiku, jika kita dititipi sesuatu oleh orang, lalu suatu saat orang yang menitipkan itu mengambilnya kembali dari kita, apakah kita keberatan?”
“Tentu saja tidak” jawab Abu Thalhah.
“Sebenarnya, anak kita telah diambil kembali oleh Allah. Ia meninggal dunia sebelum engkau datang,” Abu Thalhah terkejut. Ia tidak habis pikir bagaimana istrinya begitu tenang berhias dan melayaninya semalam, sementara anaknya baru saja meninggal. Mengapa ia tak memberitahukan kabar duka itu begitu ia sampai di rumah?
Abu Thalhah kemudian mengadukan hal ini kepada Rasulullah. Apa tanggapan Rasulullah? Beliau justru memuji apa yang dilakukan oleh Ummu Sulaim. “Allah memberkahi apa yang kalian lakukan kemarin malam.”
Syaikh Mahmud Al Mishri, mengutip hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, menyebutkan bagian dari keberkahan yang didoakan Rasulullah itu. Yakni, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim dikarunai 9 putra, semuanya hafal Al Qur’an.
Pada fragmen sejarah kenabian, juga abadi kisah muslimah menghadapi ujian serupa. Ketika Rasulullah melewati pemakaman Baqi, beliau mendapati seorang muslimah sedang menangis meraung-raung. Ratapannya membuat Baqi yang biasanya sepi menjadi gaduh.
“Bersabarlah…” Rasulullah menasehati wanita itu.
“Enyahlah engkau. Kau bia berkata bergitu karena engkau tidak mengalami seperti apa yang aku alami,” kata wanita itu sambil terus meratap dan menangis. Ia tak sadar bahwa orang yang dihardiknya itu adalah Rasulullah. Beliau orang yang paling sabar, dan pernah beberapa kali kehilangan putranya. Bahkan pernah kehilangan istri tercinta dan paman pembelanya dalam waktu yang tidak berselang lama.
Rasulullah pergi meninggalkan Baqi. Tapi orang-orang segera memberitahu wanita itu bahwa beliau adalah Rasulullah. Tangis terhenti. Muncul penyesalan diri. Wanita itu menyusul Rasulullah, dan setelah bertemu beliau ia minta maaf.
“Ash Shabru inda shadmatil ula,” sabda Rasulullah singkat. Yang artinya, sabar itu ada pada benturan pertama. Kesabaran adalah ketika sanggup menerima ketentuan Allah tanpa menyalahkan-Nya, begitu musibah itu datang. Dan Ummu Sulaim telah memberikan teladan bagi muslimah sepanjang zaman. Sabar itu, ia menerima nasehat orang lain tanpa melihat apakah orang itu pernah mengalami musibah yang sama atau tidak. Bukan diawali dengan menilai apakah nasehat itu datang dari orang bijak. Sabar yang sempurna itu terlihat dari reaksi spontan kita atas ujian, bukan setelah sekian kali merevisi dan merekayasa sikap kita. Bersabarlah… karena dengan sabar, Allah memberi kita pahala tanpa batas. Dan ketika kita mampu bersabar, Allah akan membersamai kita. Innallaha ma’ash shabirin. [Muchlisin BK]