Beranda Fiksi Cerpen Setelah Akad Nikah, Ustadz Suamiku Bilang Aku adalah Istri Kedua

Setelah Akad Nikah, Ustadz Suamiku Bilang Aku adalah Istri Kedua

0
istri kedua
ilustrasi (@cikaluloli)

Hari bahagia telah tiba. Lebih bahagia daripada lulus ujian dan wisuda. Ya, aku lulus dari status single lillah. Mulai hari ini aku akan berusaha menjadi istri shalihah.

Menikah, bagiku lebih mendebarkan daripada SBMPTN. Lebih menantang daripada tes TOEFL atau sidang skripsi. Sebab ujian-ujian itu aku bisa mempersiapkan untuk mendapatkan nilai terbaik. Sedangkan menikah, meskipun boleh saja seorang akhwat proaktif, umumnya kami sebagai kaum Hawa hanya bisa menanti. Siapa yang Allah datangkan, kami punya pilihan menerima atau menolaknya.

Di situlah peliknya. Ada teman yang hingga saat ini belum menikah. Sudah beberapa kali ikhwan datang. Tapi selalu ditolaknya. Ada yang karena alasan benar-benar syar’i. Ada yang karena alasan ingin mendapatkan suami yang “grade”-nya lebih tinggi. Hingga kemudian, sudah setahun belakangan ini tak ada lagi ikhwan yang datang untuk taaruf atau mengkhitbahnya.

Beruntung, sekalinya ada yang mau taaruf denganku, ia aktifis dakwah. Visinya, misinya, pendidikan dan latar belakangnya, semuanya sekufu denganku.

Shalat istikharah semakin memantapkan keyakinanku. Dan masya Allah… prosesnya begitu cepat. Tak sampai sebulan setelah taaruf, ia datang kepada orangtuaku untuk mengkhitbah dan hari ini kami menikah.

Hati terus bersyukur seiring detik demi detik kebahagiaan yang sulit kulukiskan. Deg-degan menjelang akad nikah sudah terlewati. Calon suamiku lancar mengucap akad. Kami menjadi suami istri.

Tibalah saat walimah. Usai sambutan dua pihak keluarga mempelai, Ustadz Abdullah menyampaikan tausiyah. Sejak mukaddimah, aku tenggelam dalam lautan kesyukuran. Beliau memang terkenal dengan tazkiyatun nafs-nya. Jamaah terbawa dalam suasana syahdu bahkan sering kali meneteskan air mata saat beliau mengajak untuk muhasabah.

Hingga sebuah kalimat yang menghentakkan jiwaku. Mem-pause kebahagiaan dan secepat kilat mengubah suasana hatiku.

“Ukhti Zahra, ketahuilah bahwa sesungguhnya engkau adalah istri kedua bagi suamimu.” Apa? Ingin saat itu juga aku interupsi untuk menanyakan kebenaranya. Atau langsung konfirmasi pada suami. Tapi tidak. Ini acara walimah, aku harus menahan diri.

“Sebelum menikah denganmu, suamimu sudah memiliki istri pertama.” Aku semakin terperanjat. Ia aktifis dakwah yang semua orang tahu keshalihannya, apakah mungkin ia berdusta? Bukankah tadi di buku nikah dituliskan statusnya adalah perjaka? Aku masih berusaha menahan diri. Meski tak bisa dipungkiri, gesturku terlihat jelas berubah. Wajahku yang awalnya tampak khusyu’ kini tertunduk. Mataku yang tadi berbinar kini rasanya mulai ada bintik-bintik yang siap menetes. Benarkah aku istri kedua? Lalu siapa istri pertamanya? Sudah meninggalkah ia, cerai atau masih ada dan aku harus berbagi cinta?

“Dan istri pertamanya adalah dakwah.” Alhamdulillah… plong aku mendengarnya. Waktu yang tadi seakan melambat kini kembali normal. Wajahku terangkat. Kulihat hadirin yang dari tadi tegang kini tersenyum. Bibirku pun tak bisa menahan senyum. Zahra, Zahra, mengapa begitu baper mendengar kalimat-kalimat yang belum lengkap. Ustadz Abdullah juga sih, mengapa sengaja ada jeda antar kalimat-kalimat tadi.

“Karenanya wahai Ukhti Zahra, jangan halangi suami dari aktifitas dakwah selama ini. Dukung suami, support suami agar menjadikan dakwah sebagai laku utama. Jangan karena menikah, istri pertama ini ditinggal dan dilupakan.” Ingin aku langsung menjawab, “siap, Ustadz!” Alhamdulillah aku bisa mengendalikannya. Maka kujawab dengan isyarat menganggukkan kepala.

Maafkan aku suamiku, hari pertama malah langsung su’uzhan kepadamu. Baper. Mungkin ini tanda cinta. Cinta yang telah tumbuh sejak taa’ruf di mushala. Difasilitasi oleh Ustadz Abdullah juga.

Kalau ternyata istri pertama suamiku adalah dakwah, pasti akan kudukung penuh Ustadz. Aku siap jadi istri kedua yang mungkin tak selalu bersamanya di hari libur. Atau bahkan di malam-malam yang dingin. Jika itu untuk dakwah, untuk umat. []

*Terinspirasi dari kisah nyata