Beranda Tazkiyah Renungan Selepas Ramadhan, Apa yang Tersisa?

Selepas Ramadhan, Apa yang Tersisa?

0

Hampir sebulan kita berpisah dengan Ramadhan. Bulan mulia yang membuat kita tiba-tiba sangat bersemangat untuk beramal. Siangnya kita berpuasa, malamnya shalat tarawih, masih ditambah shalat tahajud, hingga kita berik’tikaf di 10 malam terakhirnya. Pun, tilawah dan sedekah kita melejit. Kita merasa begitu dekat dengan-Nya.

Kini, selepas Ramadhan pergi, apa yang tersisa? Masihkah kita rutin membaca Al Qur’an? Sungguh luar biasa jika kita mampu bertahan dua juz per hari di bulan Syawal ini. Masihkah kita rutin bangun malam untuk bertahajud dan bermunajat kepada Tuhan? Rasulullah pernah mengingatkan sahabatnya, satu hal yang agaknya sangat dominan kita alami selepas Ramadhan pergi. “Wahai Abdullah,” kata Rasulullah membuat bergetar hati yang disapa, “Janganlah engkau seperti Fulan. Dulu ia rajin shalat malam, sekarang sudah tidak lagi.” Coba kita raba hati kita, apakah kita mirip dengan Fulan yang dimaksud Rasulullah. Jika iya, mari beristighfar. Astaghfirullah.

Di bulan Ramadhan, kita dimudahkan Allah menjaga hati. Tak ada marah, tak ada emosi. Tiba-tiba suasana menjadi damai. Tetangga, teman, rekan kerja, hanyut dalam suasana religi. Bahkan televisi juga dipenuhi dengan tayangan program dan iklan yang menyejukkan. Masihkah kita merasakan suasana ini? Minimal dalam satu aspek, mengendalikan marah. Masihkah kita mudah mengendalikan emosi kala berinteraksi dengan suami, anak-anak, dan orang-orang yang kita temui? Atau, selepas Ramadhan pergi kita menjadi cepat tersinggung? Tidak bersabar dengan tingkah buah hati kita? Suami terlambat sedikit pulang kerja kita marah padanya? “Laa taghdhab walakal jannah, janganlah marah dan bagimu surga”.

Keberhasilan puasa dan Ramadhan kita sesungguhnya bisa dilihat setelah bulan suci itu pergi meninggalkan kita. Apa bekasnya? Masih banyakkah efek Ramadhan memperbaiki dalam diri kita? Jika kita hanya baik saat Ramadhan, hanya banyak ibadah saat Ramadhan, hanya semangat shalat malam saat Ramadhan, hanya rajin tilawah saat Ramadhan, jangan-jangan kita seperti yang diistilahkan para ulama: hamba Ramadhani. Bukan hamba yang Rabbani.

Dan ketika kita menemukan saat ini diri terjatuh, kembali dalam kubangan kemalasan ibadah, mari segera beristighfar dan berbenah. “Fafirruu ilallah…” Bersegeralah menuju Allah. Mau ke mana diri ini jika tidak berlari mendekat kepada Allah? Siapa yang akan kita andalkan untuk menolong kita dan menjadi tempat bergantung selain Dia? Fafirruu ilallah… Dan biarlah suasana Ramadhan itu senantiasa terjaga. Kalaupun tidak bisa seluruhnya, janganlah hilang semuanya. Ada bekasnya. Ada efeknya. Sebab jika Ramadhan adalah syahrut tarbiyah, bulan pendidikan dan bulan pelatihan, maka saat inilah implementasi pelatihan itu. Pembuktian, apakah latihan kita berhasil atau tidak. [Tim Redaksi Webmuslimah.com]