Beranda Kisah Kisah Hikmah Menderita di Mata Manusia, Bisa Jadi Lebih Dahulu Mencium Aroma Surga

Menderita di Mata Manusia, Bisa Jadi Lebih Dahulu Mencium Aroma Surga

2
ilustrasi gadis kecil (ciricara.com)

Siang itu saat aku sedang istirahat siang, tiba-tiba ada SMS yang masuk. Namun sengaja tidak segera kubuka karena SMS datang dari nomor yang tidak kukenal. Setelah menyelesaikan pekerjaaan yang menumpuk,baru kuambil Hpku. Tiba-tiba air mata ini deras mengalir membasahi pipi saat kubaca satu persatu kalimat SMS itu.

Saking kerasnya tangisku, suami sampai kaget, sambil bertanya “Ada berita apa? Dari siapa? Mengapa menangis?” Karena tak sanggup bercerita, maka suami membiarkan kesedihanku mendera untuk beberapa saat. Terbayang peristiwa beberapa tahun yang lalu saat aku masih menjadi mahasiswa program pendidikan dokter spesialis.

“Visite“ pasien-pasien di ruang bangsal setiap pagi adalah pekerjaan rutin seorang dokter yang sedang menempuh program pendidikan spesialis. Begitu juga denganku. Sambil memeriksa penyakit pasien yang sedang ku-”visite”, aku selalu tergerak untuk juga mengenal keluarga penderita lebih jauh.

Ada satu pasien yang mencuri perhatianku, sebut saja Nabila, seorang gadis kecil cantik berumur tiga tahunan dengan rambut ikal, bulu mata lentik yang nyaris tiap hari kuperhatikan. Bukan saja karena dia seusia anakku tapi keceriaan anak tersebut dan keluarga yang sederhana itu yang membuatku kagum. Tidak seperti pada umumnya pasien bangsal yang rata-rata dari keluarga dengan sosial ekonomi yang kurang itu, seringkali pasien kurang sabar dalam menjalani perawatan di RS apalagi dalam jangka waktu yang lama. Nabila adalah anak tunggal dari seorang ibu berparas ayu berkerudung, santun , lembut dan murah senyum. Selama beberapa hari di bangsal, tak sekalipun ibu Nabila terlihat mengeluh ataupun berkata kasar kepada anaknya. Satu poin yang berhasil kucatat karena tidak semua orangtua mampu melakukan itu dalam kondisi yang serba “susah” ini. Nabila juga ditemani ayahnya yang tak kalah sabarnya dengan sang ibu. Walaupun ayah ini tidak sempurna fisiknya, salah satu kakinya mengecil, tak sekalipun bapak ini meninggalkan kewajiban shalat lima waktunya.

Rasa empatiku yang tinggi pada Nabila dan kedua orangtuanya membuat aku tidak tega melakukan tugasku untuk mengoperasi mengangkat bola mata Nabila yang terjangkit kanker ganas. Malam hari sebelum tugas itu, aku gelisah dan sulit sekali untuk memejamkan mata, aku tidak tega setelah operasi nanti, pasti Nabila akan kehilangan bola matanya, pasti akan kehilangan penglihatan, pasti akan kesakitan, pasti akan dilajutkan dengan terapi tambahan untuk mematikan semua sel ganasnya, pasti akan lebih panjang lagi penderitaannya. Tak sanggup membayangkannya andai saja itu menimpa anakku.

Tidak seperti yang kubayangkan, Nabila ternyata gadis kecil yang sangat kuat. Setelah dipindah ke ruang bangsal usai operasi, sekitar kurang lebih 4 hari saja Nabila rewel minta digendong sambil membawa boneka kecilnya yang sudah tidak bisa dilihat lagi, karena bola matanya telah dioperasi sementara mata yang satunya sudah tidak berfungsi juga. Ayah dan ibunya tetap saja selalu sabar menghadapinya. Setelah beberapa minggu melalui serangkaian terapi, akhirnya Nabila diperbolehkan pulang karena kanker sudah menyebar ke bagian tubuh yang lain, yang artinya Nabila diterapi untuk mengurangi rasa nyerinya saja.

Sampai beberapa bulan kemudian masuklah SMS dari nomor yang tidak kukenal itu. Ternyata dari ayah Nabila yang mengabarkan kalau Nabila sudah dipanggil oleh Yang Maha Pengasih. Saat tangisku mereda, aku bercerita pada suami, aku sedih dan kasihan pada Nabila dan keluarganya yang sudah sabar tetapi masih ditambah ujian yang lebih berat lagi. Tapi kata suamiku ”Bisa jadi keluarga Nabila mencium aroma surga lebih dulu daripada kita karena kesabarannya merawat Nabila walaupun kelihatannya mereka menderita, sementara kita belum tentu bisa seperti keluarga Nabila” [DwiKap]

2 KOMENTAR

BERIKAN TANGGAPAN

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini