Beranda Tazkiyah Tazkiyatun Nafs Saat Isi Hati Menjelma Dalam Kata

Saat Isi Hati Menjelma Dalam Kata

0
ilustrasi siluet muslimah © flickrhivemindt.net

Saat hati sudah tak mampu menyembunyikan rasa,
Maka tak sepantasnya lisan bergerak liar,
Berbuat sesuka hatinya,
Sehingga ikhlas perlahan memudar,
Menjelma menjadi segores luka

Aku tak tahu apa yang kini sedang aku rasakan. Terlalu berat beban ini harus aku pikul sendirian. Tapi aku sendiri tak tahu ke mana aku harus menyampaikan ini?

Aah… ya sudahlah. Biarlah semuanya berjalan seiring berjalannya waktu. Lebih baik aku diam dari pada aku harus ribut. Lebih baik aku diam dari pada aku harus berdebat. Lebih baik aku diam dari pada urusannya berbuntut panjang.

Karena jujur, aku sendiri tak mampu menyampaikan ini langsung! Perasaan sedih, kecewa, dan segudang perasaan lainnya. Aku yakin aku bisa melewatinya!

“Ah biasa. Itu bu Nyai suka maen aturan sendiri” kata mbak Shofia suatu saat. Sementara aku hanya mengangguk membenarkan.

“Iya emang biasanya seperti itu mbak. Biasanya aku sama beliau selalu miss komunikasi” kataku mulai menimpali.

“Biasanya sih aku cuman nurut saja apa kata beliau mbak. Meskipun aku sendiri ndak sreg dengan apa yang beliau katakan” lanjutku.

Dan begitulah seterusnya. Setiap aku ketemu mbak Shofia mesti yang kita bahas mbak Lina. Kenapa? Selama ini aku diam dan manut dengan apa yang dikatakan mbak Lina. Apapun yang aku rasakan aku selalu diam.

Tapi kini? Di saat aku ada teman yang kebetulan tidak suka dengan mbak Lina, aku jadi sering ngomongin mbak Lina di belakang. Apapun yang dilakukan mbak Lina selalu menjadi obrolan kami. Di saat ada konflik dengan rapat, aku hanya diam. Tapi setelahnya? Aku baru koar-koar.

Nahasnya, bukan cuman mbak Lina aja sih, tapi aku juga sering mengeluhkan apapun yang aku rasakan kepada mbak Shofia. Hingga suatu saat aku disadarkan oleh kata-kata salah seorang teman yang kebetulan nyeletuk dengan kata-kata yang makjleb.

“Jangan hanya ngomong di belakang tapi disampaikan langsung aja” katanya dengan nada aku agak ketus.

Huaaah… menohok sekali….

Mbak Lina, aku jadi seolah menghianati mbak. Akhwat sebaik mbak, ternyata aku menusuknya di belakang. Aku tahu ini lebih menyakitkan. Diomongin di belakang itu lebih menyakitkan dari pada harus dilabrak langsung. Aku bisa merasakan itu mbak. Sakit rasanya!

Aku menangis sesenggukan di teras masjid. Satu persatu tetes air mataku mulai membasahi mukena putihku. Kulihat mbak Lina hanya tersenyum manis seiring dengan mukena putihnya dan Quran terjemah yang usai dibacanya.

“Maafkan aku ya mbak. Aku jadi sering ngomongin mbak dibelakang” pintaku pada mbak Lina. Beliau hanya tersenyum.

“Apa toh? Sudah ndak apa-apa”

“Memang kalau ada apa-apa sebaiknya disampaikan langsung” lanjutnya. Tangisku semakin menderu.

Aah mbak Lina. Aku jadi merasa menjadi orang yang paling munafik. Engkau begitu baik sedang aku? Aku menusuk mbak dari belakang.

Ternyata apa yang kulakukan kemarin membuat hatiku tidak tenang. Karena itulah ciri maksiat. Ia akan membuat hati si pelakunya tidak tenang. sehingga inilah yang mendasariku untuk terus berterus terang di hadapanmu.

Ya Allah, ampuni dosaku ya Allah…

Sekarang, aku harus belajar. Kepada siapapun, ngomong di belakang itu tidak bisa dibenarkan. Sebisa mungkin untuk menghindari apapun itu yang memicu untuk ngomong di belakang. Ketika hati tidak sepakat maka sebisa mungkin agar hati secara terbuka menyampaikan apa yang ia rasakan.

Bersikap kritis terhadap suatu permasalahan itu penting. Tapi alangkah baiknya jika itu langsung disampaikan secara terbuka kepada yang dituju. Karena ketika hanya diam mengamati. Lantas timbullah berbagai pertanyaan yang tersembunyi dalam hati, sedang lisan tak mampu untuk menjaga dirinya. Maka lisan akan mengungkapkan isi hati seenaknya.

Ke manapun isi hati berlabuh,maka di situlah lisan akan bergerak liar. Semakin banyak supporter. Maka ghibah akan menjadi hal biasa. Ayat al-Quran mengenai ghibah yang mengaung-ngaung di telinga hanya sebatas lewat tanpa jejak. Selain itu buah dari ghibah sendiri adalah benih-benih permusuhan dan kedengkian yang berujung pada sikap namimah (adu domba).

Aah… aku sungguh tak mampu untuk melanjutkannya lagi. Yang terpenting sekarang, jangan ada apapun yang disembunyikan dalam hati. Besitan-besitan kecil itu harusnya dikroscek terlebih dahulu sebelum menjelma menjadi sebuah kata dan membuat keikhlasan memudar dan sirna tanpa meninggalkan jejak dari amal yang telah kulakukan. [Ukhtu Emil]